Minggu, 10 November 2013

UKIRAN TORAJA DAN MAKNA MAKNANYA

bangunan tradisional Toraja seperti rumah adat Tongkonan memiliki banyak ragam ukiran-ukiran yang menggambarkan simbol-simbol dari benda yang ada di sekitar kehidupan manusia. seperti benda-benda langit, hewan dan tumbuhan baik yang hidup di darat ataupun di dalam air juga benda-benda berharga yang ada pada tongkonan.
Dari seluruh ragam ukiran yang terdapat pada rumah tongkonan, lumbung dan erong, ada 4 dasar ukiran atau dalam bahasa toraja disebut sebagai garonto' passura' diantaranya sebagai berikut:
  1. Pa' tedong, merupakan lambang tulang punggung kehidupan dan kemakmuran.
  2. Pa' barre Allo, Lambang dari sumber kehidupan yang berasal dari sang pencipta.
  3. Pa' Manuk Londong, melambangkan adanya aturan atau norma hukum (adat) dan kepemimpinan.
  4. Pa' Sussu', melambangkan bentuk kesatuan masyarakat yang demokratis dan kebijakan untuk penentuan dasar-dasar kehidupan.
Garonto' Passura' tersebut harus ada pada tongkonan utama atau tongkonan yang menjadi induk dari beberapa tongkonan yang lain dalam bahasa toraja disebut sebagai tongkonan Layuk atau tongkonan pekaindoran.
Dahulu ukiran dan pewarnaan dikerjakan sebelum dipasang (di pabendan) namun dalam perkembangannya saat sekarang ini pengukiran dan pewarnaan dapat dikerjakan setelah konstruksi selesai. sedangkan bahan pewarnaan ukirannya sampai sekarang masih ada yang menggunakan tanah (litak) yang memiliki warna kuning, merah, dan orange yang diambil dari berbagai tempat di toraja yang memiliki warna tanah tersebut.
Meskipun kini pengaruh ukiran jawa dan bali telah merambah kesemua pelosok nusantara bahkan dunia termasuk Tana toraja tetapi tidak mempengaruhi ukiran pada rumah adatnya. Perkembangan yang ada hanyalah pada variasi setiap jenis ukiran.


Berikut ini beberapa jenis ukiran yang banyak dijumpai pada Rumah adat Tana Toraja (Tongkonan) ataupun pada Lumbung (Alang):
  1. PA' BARRE ALLO
  • Barre = Terbit / Bulat
  • Allo = Matahari
Ukiran yang menyerupai bulatan matahari, jenis ukiran ini banyak ditemukan pada bagian muka dan belakang rumah adat Toraja pada papan bagian atas berbentuk segi tiga (Para Longa). Biasanya diatas ukiran Pa' Barre Allo diletakkan ukiran Pa' Manuk Londong.
Makna dari ukiran ini adalah: Percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa), selain itu pemilik tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia.


      2.  PA' MANUK LONDONG
  • Manuk = Ayam
  • Londong = Jantan
Pa' manuk londong adalah ukiran berupa ayam jantan, biasanya terdapat pada bagian muka dan belakang rumah adat Toraja pada papan atas berbentuk segitiga. biasanya ukiran ayam jantan diletakkan di atas ukiran pa' barre allo.
Makna dari ukiran ini adalah: Melambangkan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, dapat dipercaya oleh karna pintar, pemahaman dan intuisinya tepat serta selalu mengatakan apa yang benar (Manarang ussuka' bongi ungkararoi malillin).


      3.  PA' TEDONG
  • Tedong = Kerbau
Ukiran ini biasanya dilukiskan pada papan besar teratas (Indo' Para) dan pada dinding-dinding penyanggah badan rumah (Manangga banua). bagi masyarakat toraja kerbau adalah hewan paling tinggi nilai dan statusnya, untuk itu bagi masyarakat toraja kerbau dijadikan standar / ukuran dari semua harta kekayaan.
Makna dari ukiran ini adalah: Ukiran ini bermakna sebagai lambang kesejahteraan dan kekayaan bagi masyarakat toraja, selain itu ukiran ini juga melambangkan kebangsawanan.



      4.  PA' DOTI LANGI' 

  • Doti = Ilmu (hitam)
  • Doti = Saleko (tedong saleko) / Kerbau belang
  • Doti = Baik = Cantik
  • Langi' = Langit
Ukiran ini berupa palang yang berjejer-jejer dan ditengah-tengah ada semacam bintang bersinar seperti bintang di atas langit.
Makna dari ukiran ini adalah: Kepintaran / prestasi yang tinggi, kearifan dan ketenangan, juga mempunyai cita-cita yang tinggi pemikiran yang jauh cemerlang kedepan, bisa juga berarti wanita bangsawan, mempunyai kasta tinggi.



      5.  PA' KAPU' BAKA
  • Kapu' = Ikat
  • Baka = Bakul

Kapu' Baka = Pengikat bakul tampat menyimpan harta kekayaan rumah.
Pa' kapu' baka adalah ukiran yang menyerupai simpulan-simpulan penutup bakul (baka) baka bua dalam bahasa toraja adalah merupakan tempat untuk menyimpan harta bagi orang-orang tua jaman dahulu, sebelum ada peti, lemari, atau koper. simpulan-simpulan dari tali ini benar-benar rapih sehinggah ujung simpulan dari tali tidak kelihatan dan jika simpul telah berubah berarti ada yang telah mengambil sesuatu dari dalam bakul itu,
Makna dari ukiran ini adalah: Melambangkan kekayaan dan kebangsawanan, simpul rahasia melambangkan pemilik rumah memiliki pola kepemimpinan dan sukar ditiru oleh orang lain, selain itu juga pandai dalam memelihara rahasia keluarga.



     6.  PA' ULU KARUA
  • Ulu = Kepala
  • Karua = Delapan (8)

Menurut mitos orang toraja, dahulu kala ada delapan leluhur dari orang toraja yang masing-masing menurunkan ilmu dan pengetahuan menyangkut kehidupan manusia dan dunianya. kedelapan orang inilah yang merupakan penemu (pencipta) ilmu pangetahuan yang diturunkan kepada anak cucu turun-temurun. ilmu dan keterampilan inilah yang dikembangkan manusia dari masa-kemasa hingga pada saat ini antara lain: to sikambi' lolo tau (Ilmu kesehatan dan para medis), To sikambi' lolo tananan (Ilmu tumbuh-tumbuhan / pertanian), to sikambi' to manarang (Ilmu Teknik), dll.
Pa' ulu karua juga berarti bahwa orang yang mempunyai kemampuan untuk berbaur dengan orang lain.
Makna dari ukiran ini adalah: diharapkan dalam keluarga muncul orang (anggota keluarga) yang memiliki ilmu yang tinggi untuk kepentingan keluarga dan masyarakat.




      7.  PA' ULU GAYANG
  • Ulu = Kepala

Gayang = Keris Emas
Pa' ulu gayang adalah ukiran yang menyerupai kapala (tangkai) keris emas. jadi merupakan bagian dari pada keris emas (gayang / gaang)
Makna dari ukiran ini adalah: Oleh karna ulu gayang adalah bagian dari gayang (keris emas) maka makna dari ukiran ini sama dengan makna ukiran pa'gayang yaitu malambangkan laki-laki yang mulia, kaya, bijak dan dari golongan bangsawan.



      8.  PA' BOMBO UAI

  • Bombo uai = anggang-angang
Pa' bombo uai adalah ukiran yang menyerupai binatang air (anggang anggang) yang dapat bergerak menitih air dengan halus dan sangat cepat.
Makna dari ukiran ini adalah: Pintar-pintarlah menitih kehidupan ini dalam hal ini adalah lincah, cekatan, cepat, dan tepat. selain itu ukiran ini juga berarti manusia harus mempunyai keterampilan dan kemampuan yang cukup dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.



     9.  PA' BULU LONDONG
  • Bulu = Bulu
  • Londong = Jantan

Ukiran ini menyerupai rumbai ayam jantan. ada pepatah mengatakan: ayam dikenal karna tingkah lakunya. pada ukiran Pa' manuk londong telah dijelaskan tentang arti dan makna Londong (ayam jantan). Pa' bulu londong biasanya di garunggang atau diukir tembus.
Makna dari ukiran ini adalah: Bulu rumbai manghiasi ayam jantan demikian pula keperkasaan dan kewibawaan menyertai seorang pemimpin dan lelaki pemberani.







     10.  PA' DAUN PARIA

  • Paria = sayur paria atau Pare
Kita tau bahwa paria ini merupakan tanaman yang pahit. baik buah dan daun dapat dijadikan sayur-sayuran dan obat-obatan seperti obat batuk, atau malaria.
Makna dari ukiran ini adalah: kadang sesuatu yang pahit itu adalah obat yang dapat menyembuhkan. seperti teguran atau nasehat yang harus diterima walau menyakitkan namun akan membawa kebaikan.

Kamis, 07 November 2013

ALKITAB BAHASA TORAJA

lama juga ngak posting hehehe,
kali ini saya ingin memberikan Alkitab bahasa toraja .
Alkitab ini khusus buat hp,
langsung aja ngak usah basa basi silahkan di download.

DOWNLOAD

Kamis, 10 Oktober 2013

Orang Toraja meninggal siapkan kerbau seharga mobil Mercy

Ada istilah yang lahir dari kebudayaan pesta adat kematian Rambu Solo di Toraja. Istilah tersebut adalah 'Mercy Bufallo' yang merupakan gabungan dari merek mobil mewah Mercedez dengan Bufallo yang berarti kerbau.

"Makanya ada istilah Mercy Bufallo karena setiap orang Toraja kalau meninggal harus sedia puluhan kerbau. Apalagi kerbau belang yang harganya Rp 250 juta per ekor," kata warga Toraja, Abu kepada merdeka.com saat berkunjung ke Tana Toraja, Sabtu (18/5).

Sama halnya dengan warga Toraja lainnya, Abu juga menyiapkan 40 kerbau sewaktu neneknya meninggal. Dia menganggap semakin banyak kerbau yang terkumpul maka semakin mudah neneknya mencapai Nirwana. Selain itu, banyaknya kerbau yang disembelih saat upacara itu membuktikan bahwa keluarganya adalah keluarga terpandang.

Merdeka.com kemudian berkesempatan untuk melihat kediaman nenek Abu, benar saja 40 tanduk kebau berjejer vertikal di tiang batu mengikuti atap rumah Tongkonan Toraja.

Di dalam Tongkonan tersebut, Abu mengaku sempat menyimpan jasad neneknya sembari keluarganya mengumpulkan uang. Mereka juga hidup bersama jasad neneknya yang telah mati di dalam rumah Tongkonan yang hanya terdiri dari dua ruangan sedang.

Yang menarik, meski Abu tetap menjalankan ritual atau pesta kematian Rambu Solo, Abu ternyata mengeluhkan dan mengkritik ritual yang terbilang mahal ini.

"Coba lihat kalau keluarganya seperti itu (sambil menunjuk rumah panggung kecil), kalau dipikir-pikir mau berapa lama mereka mengumpulkan uang untuk beli kerbau. Untuk menyelenggarakan upacara kematian hari ini saja jenazahnya harus disimpan selama 6 tahun, baru ada uang setelah 6 tahun," keluh Abu.

Memang sewaktu merdeka.com datang, di Tana Toraja sedang berlangsung upacara Rambu Solo. Saat itu mereka mengadakan pesta dengan memotong belasan babi dan menarikan tarian Ma'badong. Dari keterangan Abu juga, diketahui upacara kematian saat itu diperuntukkan bagi perwira polisi yang wafat 6 tahun lalu. Setelah melakukan tarian, masyarakat Toraja melakukan santap siang dengan tuak dan daging babi yang disajikan untuk para tamu.

Suku adat Toraja, menjadi salah satu suku yang masih kental dengan ritual adat dan keagamaan. Padahal sebagian besar penduduknya telah menganut agama Kristen.

Adat Rambu Solo misalnya, adat ini bisanya berlangsung selama 3 hari untuk golongan masyarakat biasa dan seminggu untuk golongan bangsawan. Sebelum dibawa ke kuburnya di tebing atau di tempat tertentu, mereka harus menyelenggarakan pesta adat yang disebut dengan Rambu Solo. Pesta tersebut menghadirkan banyak tamu, biasanya para tamu membawa babi-babi untuk diserahkan.

Setelah menerima tamu, mereka juga mengadakan pertunjukan seperti adu kerbau atau tari-tarian, hingga keesokan harinya jenazah baru dibawa ke tempat peristirahatan. Berbeda dari zaman dahulu, kini banyak orang Toraja tidak lagi menempatkan jenazah keluarga mereka di gunung atau tebing, tetapi di kubur keluarga atau suatu tempat yang dekat dengan Gereja.

Kamis, 19 September 2013

Kerbau Termahal di Dunia Ada di Indonesia

Sudah pada tahu bahwa di Indonesia ada kerbau termahal di dunia? Tepatnya kerbau termahal di dunia ini berasal dari Toraja, Tana Toraja di Sulawesi Selatan sejak lama dikenal dengan budayanya yang unik, terutama prosesi pemakaman. Sebuah pesta besar wajib dilakukan untuk menghormati mendiang. Dana yang dihabiskan pun bisa sampai miliaran rupiah. Seperti yang disaksikan merdeka.com. Saat itu, keluarga besar Tallulembang menggelar upacara pemakaman. Salah satu kerabat keluarga ini ada yang meninggal sejak beberapa bulan lalu.


Di Toraja, keluarga Tallulembang merupakan salah satu yang terpandang. Sesuai adat, mereka wajib menggelar upacara pemakaman yang disebut Rambu Solo. Meski upacara pemakaman, suasananya, tidak diliputi kesedihan malah lebih mirip seperti pesta besar. Semua anggota keluarga besar hadir, demikian juga para kerabat jauh yang jumlahnya ratusan orang.
Mereka kompak berpakaian hitam-hitam, sedangkan para pria ada yang berpakaian warna lain, tapi tetap mengenakan sarung berwarna hitam polos. Upacara dimulai dengan penyembelihan kerbau. Beberapa ekor kerbau hitam yang telah disiapkan disembelih dengan cara ditebas lehernya.
Yang menarik, ada kerbau belang (tedong bonga) yang dihadirkan dalam upacara. Ketika itu, ada empat ekor kerbau belang putih-hitam dan lima ekor kerbau hitam yang kulitnya mengkilat. Julius, salah satu kerabat keluarga kebagian menjaga salah satu kerbau belang itu. "Yang ini harganya Rp 670 juta," kata dia menunjukkan kerbau belang yang paling besar.
"Sama dengan mobil Alphard ini harganya," cetus Julius. Sementara tiga kerbau lainnya, lanjut Julius, berharga, Rp 400 jutaan hingga Rp 200 jutaan. "Yang paling mahal ini karena warna dasarnya putih dan dia belang hitam. Sedangkan yang lain itu, warna dasarnya hitam dan belangnya putih," tuturnya.

Semakin besar ukuran kerbau dan corak belangnya semakin bagus, maka harganya semakin mahal. "Kerbau ini memang dipelihara khusus untuk acara-acara seperti ini. Ada pedagangnya," kata Julius. Dia menjelaskan, untuk kerbau putih dengan belang hitam, dijuluki saleko. Sementara untuk kerbau hitam dengan belang putih dijuluki bonga. Dan untuk kerbau yang berwarna hitam semua dijuluki pudu.
Untuk kerbau-kerbau yang lebih mahal dari harga mobil ini, ternyata tidak disembelih. Dalam prosesi upacara Rambu Solo, kerbau belang itu, akan disumbangkan. "Karena keluarga besar yang meninggal beragama Kristen, kerbau ini disumbangkan kepada gereja," kata Julius. Oleh gereja, kerbau-kerbau itu akan dilelang kepada pembeli dengan harga tertinggi. "Hasil lelang, 75 persen untuk pihak gereja. Sisanya 25 persen dikembalikan untuk keluarga pemilik kerbau," imbuh Julius.
Selain kerbau, puluhan ekor babi juga disiapkan dalam upacara ini. Babi-babi tersebut akan disembelih untuk makanan selama pesta. Karena untuk kebutuhan pesta, ukuran babi pun yang cukup besar dan harganya berkisar antara Rp 3 juta hingga Rp 7 juta.
"Harga babi naik mulai bulan September sampai Desember karena banyak upacara seperti ini," kata Julius.
Dengan biaya yang mahal, upacara Rambu Solo tidak digelar oleh setiap keluarga di Toraja. Biasanya, hanya orang-orang kaya atau keturunan bangsawan saja yang mampu menggelar acara ini.
Julius menambahkan, jenazah orang Toraja yang meninggal tidak dimakamkan atau dikubur. Biasanya, mereka diawetkan terlebih dahulu. Jenazah kemudian dibawa ke gua batu di atas gunung atau liang-liang batu dan diletakkan dalam peti terbuka atau diletakkan begitu saja. "Ada juga yang disimpan di rumah-rumah adat yang dibangun di depan rumah masing-masing," jelasnya.


Puncak acara ini biasanya ditutup dengan adu kerbau. Dua ekor kerbau petarung berhadapan di sebuah lapangan. Siang itu, Menko Kesra Agung Laksono, Gubernur Sulawesi Selatan Sahrul Yasin Limpo, dan beberapa gubernur dan wakil gubernur yang merupakan peserta rapat kerja Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) yang menggelar pertemuan di Tana Toraja, menyaksikan upacara Rambu Solo.
Dua kerbau bernama Panter dan Naruto berhadap-hadapan. Setelah bertarung sekitar 15 menit, saling menyerang dan beradu tanduk, Panter, kerbau hitam petarung berusia 10 tahun menang. Naruto lari terbirit-birit, menyerah dengan luka terkena tanduk di wajahnya. Penonton pun bersorak karena kerbau yang didukungnya menang.
"Taruhannya bisa puluhan juta rupiah. Panter itu, sudah sering menang beberapa kali," kata Johanes, salah satu warga Toraja yang gemar menyaksikan adu kerbau saat pesta Rambu Solo.

Upacara Rambu Solok Uparaca Adat Termahal di Indonesia



Ketidakpastian akan misteri kehidupan setelah mati, menciptakan kekhawatiran akan nasib si mati di alam baka. Di dataran tinggi Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan, upaya untuk menguak misteri itu telah menciptakan sebuah prosesi religius yang begitu rumit, kompleks, dan memakan banyak tenaga serta biaya. Masyarakat Toraja menyebutnya dengan Upacara Rambu Solok.
Ritual itu dikenal sebagai upacara pengantar jenazah seseorang ke penguburan.
Meski hanya sebuah ritual kematian, penyelenggaraan upacara itu layaknya sebuah pesta besar. Sebab, puluhan ekor kerbau dan babi mesti dikorbankan dengan melibatkan massa secara kolosal dan membutuhkan dana puluhan hingga ratusan juta bahkan milyaran rupiah.
Jika mengikuti tata cara Aluk To Dolo, upacara Rambu Solok sebenarnya adalah upacara yang rumit dan kompleks. Namun, sejak masuknya agama Kristen, Katolik, dan Islam, beberapa bagian prosesi telah dihilangkan. Kini, secara umum, ada empat bagian prosesi yang masih terus dilakukan, yaitu Mapalao, penerimaan tamu, penyembelihan kerbau, dan penguburan.
Upacara Mapalao adalah ritual untuk membawa jenazah ke pusat prosesi, yaitu di rumah adat Tongkonan. Mapalao dilakukan dengan mengarak keranda jenazah dari rumah tinggal menuju Tongkonan keluarga. Di sanalah, jenazah disemayamkan sementara waktu di sebuah Lakean yang terletak di ujung Tongkonan.
Usai upacara Mapalao, keluarga menerima kedatangan para tamu untuk memberi penghormatan terakhir kepada almarhum. Bunyi lesung yang ditabuh sejumlah wanita menjadi pertanda ada tamu yang datang.
Para tamu datang dalam kelompok-kelompok keluarga dengan membawa hewan seperti kerbau dan babi untuk disumbangkan. Setiap kali rombongan tamu tiba, tuan rumah segera membawa mereka ke Lantang dan menyediakan hidangan. Di saat yang sama, alunan kidung kesedihan dari penari Renteng sengaja dilantunkan untuk menggambarkan sejarah hidup almarhum.
Proses yang agak rumit terjadi saat upacara penyembelihan kerbau. Sebab, hewan yang telah diterima keluarga, baik dari sumbangan maupun keluarga sendiri akan dihitung oleh panitia yang terdiri dari keluarga, aparat desa, dan masyarakat adat. Dalam proses ini, sering terjadi negosiasi yang alot.
Terkadang, protes datang karena ketakpuasan soal jumlah kerbau yang harus disembelih. Namun, kesepakatan akhir tetap harus terjadi, tak peduli proses negosiasi berakhir dengan protes. Di depan Tongkonan dan keranda jenazah, satu demi satu tebasan pedang para penjagal mengakhiri ajal sang kerbau.
Setelah semua rangkaian upacara telah dilewati maka saatnya dilakukan penguburan. Masyarakat Toraja mempunyai tradisi unik dalam mengubur orang yang telah mati. Penguburan tak dilakukan di tanah, tapi di goa-goa alam yang terletak di tebing-tebing pegunungan. Bahkan, mereka meyakini bahwa semakin menantang proses penguburan maka semakin tinggi pula derajat keluarga yang meninggal.
Akhirnya, sebuah prosesi penguburan yang sangat berbahaya dilakukan. Mulai dari kelincahan, keberanian, serta dorongan keyakinan spiritual. Terkadang, nyawa harus dipertaruhkan dalam proses penguburan ini. Semuanya dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa yang diperbuat akan membahagiakan leluhur yang telah meninggal.







Rombongan keluarga besar dan jenazah memasuki rante di Tongkonan Tombang, Tosapan, Kecamatan Makale, tempat terakhir almarhumah disemayamkan. Jarak yang ditempuh sekitar tiga kilometer.








Jenazah dibawa ke lakkean, tempat khusus selama upacara berlangsung, dan foto almarhumah dengan berbagai dekorasi hitam dan merah.








Babi pun diboyong ke rante untuk dipotong dan dibagi-bagikan.








Kerbau Belang ( Tedong Bonga) yang harganya paling murah 150 juta rupiah turut disembelih .








Kerbau yang disembelih dengan cara berdiri.








Daging yang dilemparkan ke berbagai arah penjuru angin, menandakan penghormatan ke seluruh wilayah tongkonan.








Ma'badong, tarian khas dalam upacara rambu solok, membuat penarinya terhanyut dalam suasana ritual.
Bagaimana pun, rambu solok telah menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat, bahkan tidak jarang melahirkan sikap pro dan kontra. Pada satu sisi budaya ini dianggap positif. Bukan hanya dalam rangka melestarikan adat istiadat dan tradisi, tapi juga berdampak pada kehidupan keseharian masyarakat, terutama dengan kebersamaan dan kerjasama warga.
Belum lagi jika dikaitkan dengan pengembangan sektor pariwisata, karena tradisi ini dianggap sebagai salah satu sektor unggulan dan sangat potensial mendatangkan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Di sisi lain, kritik terhadap pelaksanaan pesta ini juga mulai berkembang. Penggunaan dana yang terkadang mencapai angka puluhan miliar dinilai oleh sebagian kalangan telah di ambang batas kewajaran, dan menciptakan budaya boros bagi masyarakat. Untuk sebagian warga, biaya pelaksanaan pesta rambu solok akan terasa sangat besar dan menjadi beban bagi mereka.
Meski demikian, mereka tetap harus melaksanakannya, dalam rangka menjaga gengsi dan popularitas. Belum lagi kewajiban untuk membayar utang bagi mereka yang telah membantunya saat pelaksanaan pesta.
Pro-kontra terhadap pelaksanaan ritual ini tentunya harus bisa disikapi secara bijak. Sebagai sebuah tradisi yang telah menjadi aset daerah tentunya kita tidak ingin budaya ini hilang. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari segenap elemen dan pelaku pembangunan untuk menemukan formula efektif dan menguntungkan.

Sabtu, 15 Juni 2013

ADU KERBAU TANA TORAJA











Tana Toraja merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Sulawesi Selatan yang mempunyai keaneka ragaman budaya yang cukup banyak. Salah satu yang menjadi daya tarik wisatawan adalah Mapasilaga Tedong, adu kerbau khas Toraja.


Mapasilaga Tedong biasanya diselenggarakan dalam satu rangkaian dengan upacara Adat Rambu Solo, yaitu upacara pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Dalam adat masyarakat Toraja, Kerbau merupakan hewan yang dianggap suci, begitu pula dalam acara ini kerbau yang diadu bukanlah kerbau sembarangan tetapi merupakan kerbau aduan (pilihan) yang biasanya diambil dari jenis kerbau bule (tedong bunga)atau kerbau albino.


Kerbau yang masuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus Bubalis) tersebut merupakan spesies kerbau yang hanya ditemukan di Tana Toraja. Selain jenis tersebut terdapat juga kerbau Salepo yaitu kerbau yang memiliki bercak hitam dipunggung, kemudian ada pula Lontong Boke yaitu jenis kerbau yang memiliki punggung berwarna hitam. Jenis Lontong Boke merupakan jenis yang paling mahal, dimana untuk jenis kerbau tersebut harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau jantan yang telah dikebiri juga dapat diikutsertakan dalam acara adu kerbau ini.

Sebelum upacara adat dimulai, setelah dibariskan di lokasi upacara biasanya kerbau-kerbau yang akan diadu tersebut akan diarak mengikuti rombongan tim pemain gong, pembawa umbul-umbul, dan sejumlah wanita dari keluarga yang berduka menuju lapangan yang lokasinya berada di Rante (kuburan). Mengiringi keberangkatan rombongan dan para kerbau, musik tradisional yang berasal dari paduan beberapa wanita yang menumbuk padi pada lesung tersebut akan mulai dimainkan.


Sesampainya rombongan di kuburan, sesaat menjelang adu kerbau dimulai terlebih dahulu panitia akan menyerahkan daging babi yang telah dibakar, rokok dan tuak (hasil fermentasi air nira) kepada para pemandu kerbau dan para tamu. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan prosesi adu kerbau yang diselenggarakan di lapangan / sawah di dekat kuburan dimana kerbau yang di adu akan dimulai dengan kerbau bule. Disela sela acara adu kerbau kemudian dilakukan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro Tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas.

Acara ini bukan merupakan acara rutin yang terjadwal kegiatannya. Karena hal ini tergantung kepada acara Adat Rambu Solo yang pelaksanaannya mengikuti permintaan dari keluarga dari leluhur yang meninggal. Oleh karena itu, apabila pada suatu waktu anda mendengar akan diadakannya Upacara Adat Rambu Solo, apabila anda menyukai jenis wisata budaya semacam ini maka hal tersebut tentu saja teramat sayang untuk disia-siakan.

Upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja





























Tana Toraja tak hanya memiliki keindahan panorama alam, keunikan rumah adat Tongkonan, dan motif tenunan khasnya, namun keragaman budaya juga membuat kawasan di Sulawesi Selatan ini menjadi salah satu destinasi favorit bagi wisatawan, seperti upacara adat pemakaman Rambu Solo’. Upacara ini merupakan ritual adat pemakaman dari masyarakat Toraja yang bertujuan mengantarkan arwah orang yang telah meninggal menuju alam roh, yaitu alam keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan abadi yang disebut dengan Puya. Upacara pemakaman ini kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya upacara yang mencapai ratusan juta hingga milyaran rupiah ini.


Puncak dari Rambu Solo’ disebut dengan upacara Rante. Dalam upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual mulai dari proses pembungkusan jenazah (ma’tudan mebalun), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma’popengkalao alang), dan ritual ma'pasonglo yang merupakan ritual mengarak jenazah dari Tongkonan menuju ke Lakkian (tempat persemayaman terakhir). Selain itu juga terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, seperti adu kerbau (mappasilaga tedong) dan pementasan tari ma'badong. Upacara yang sering juga disebut upacara penyempurna kematian ini biasanya dilaksanakan pada siang hari saat matahari mulai condong kearah barat dan berlangsung 2-3 hari hingga dua minggu bagi kalangan bangsawan.


Kerbau-kerbau yang akan dikorbankan dalam upacara ini, diadu terlebih dahulu sebelum disembelih. Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara yang unik dan merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja yaitu menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Suku Toraja percaya bahwa setiap arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya menuju keabadian dan akan lebih cepat sampai di Puyajika ada banyak kerbau.


Bekal perjalanan menuju keabadian bagi orang Toraja tak hanya pada hewan korban yang disembelih saat upacara saja, tapi juga berupa berupa pakaian, perhiasan, hingga uang yang dihantarkan bersama jasad orang yang meninggal ke tempat pekuburan. Kepada leluhur yang telah meninggal jauh sebelumnya, dapat pula dititipkan persembahan korban sembelihan melalui arwah orang yang sedang diupacarakan. Keyakinan yang mereka percaya sejak zaman leluhur ini menggambarkan kesetiaan dan kecintaan suku Toraja kepada para leluhur baik dalam hidup dan matinya.

Minggu, 21 April 2013

Kelas sosial

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.


Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.


Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Sabtu, 20 April 2013

Musik dan Tarian

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.


Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.


Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selamamusim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnyaPa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

ROMEO DAN JULIET


Rantepao - Pemakaman Tana Toraja di Sulsel, sudah dikenal oleh traveler dunia. Tapi tahukah Anda, di antara ribuan mayat di sana terdapat kisah percintaan seperti cerita 'Romeo dan Juliet'. Dua sejoli yang meninggal tragis demi cinta.
Salah satu tujuan wisata di Toraja adalah Londa. Londa adalah gua yang dipenuhi oleh makam-makam. Di tebing-tebing guanya terdapat patung kayu manusia lengkap dengan pakaian berjejer rapi, sebagai simbol orang yang sudah mati. Di dalam guanya, juga terdapat banyak peti mati.
Di salah satu bukitnya terdapat pemakaman khusus keluarga, yang diperkirakan terdapat ribuan mayat. Dari ribuan mayat tersebut, ada sepasang kekasih yang bernama Lobo dan Andui. Mereka berdua dipercaya meninggal karena gantung diri di pohon yang sama gara-gara percintaan yang tak direstui.
"Iya, mereka meninggal karena bunuh diri. Makanya dikenal sebagai 'Romeo dan Juliet',"
Kisah percintaan mereka adalah hubungan yang terlarang. Sebab, keduanya masih dalam satu keluarga bangsawan yang memang dilarang oleh para leluhur mereka.
Karena larangan itu, mereka pun memilih jalan untuk menggantung diri. Peristiwa ini juga dipercaya terjadi sekitar 70 tahun yang lalu. Pihak keluarga akhirnya menyepakati untuk memakamkan keduanya secara berdampingan di bukit Londa. Dua tengkorak kepala itu pun dikeluarkan dari peti dan disimpan di atas peti yang telah hancur tersebut.
Sekitar 4 kilometer dari Londa, ada Kete Kesu yang begitu eksotis. Kete Kesu adalah suatu desa wisata di kawasan Tana Toraja yang dikenal karena adat dan kehidupan tradisional masyarakatnya. 
Selain terdapat rumah adat Toraja atau dikenal Tomponan yang didirikan sejak ratusan tahun yang lalu, desa ini juga memiliki bukit pemakaman yang serupa dengan Londa. Namun, pemakaman di Ketekesu tak hanya khusus untuk keluarga saja.
Terdapat enam Tomponan di Kete Kesu yang dulunya dipakai oleh nenek moyang mereka untuk tempat tinggal para bangsawan. Awalnya, Tomponan hanya berada di bukit-bukit saja. Namun, pihak Belanda meminta untuk memindahkannya ke pinggir jalan.
"Bangunan ini sudah ada sejak 700 tahun lalu. Di zaman itu, ada semacam komunikasi masyarakat Toraja dan Belanda yang dibicarakan sebaiknya Tomponan dipindahkan di dekatkan dengan jalan umum, agar mudah. Ini awalnya dari atas gunung, rumah adat di sini ada enam,".

Keluarga

Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuathubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.


Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.

Jumat, 19 April 2013

SEJARAH TANA TORAJA





Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja.Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.